Waktu Puasa
WAKTU PUASA
Pembahasan 1
WAKTU PUASA
Menurut syari’at, puasa berarti menahan diri dari hal-hal yang membatalkannya, baik itu berupa makanan, minuman, maupun hubungan badan, dengan niat, sejak terbit fajar (shadiq) sampai matahari tenggelam. Kemudian aktivitas di atas dibolehkan sepanjang malam. Hal itu telah dijelaskan oleh firman Allah Ta’ala:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Makan dan minumlah hingga terang bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai malam hari…” [Al-Baqarah/2: 187]
Sedangkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
“إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَاهُنَا وَأَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَاهُنَا فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ.”
“Jika malam telah datang dari sini dan siang telah berlalu dari sini, berarti telah (saatnya) berbuka bagi orang yang ber-puasa.” [1]
Pada awal kedatangan Islam, hal-hal yang membatalkan puasa tersebut boleh dilakukan mulai dari tenggelamnya matahari sampai orang yang berpuasa itu tertidur, di mana jika dia tidur, maka diharamkan baginya makan, minum dan berhubungan badan hingga matahari tenggelam pada hari berikutnya. Tetapi hal tersebut sangat memberatkan sebagian besar Sahabat. Hal itu telah jelaskan oleh hadits yang diriwayatkan oleh al-Barra’ bin ‘Azib Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Para Sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika ada seseorang yang berpuasa, lalu waktu ifthar (berbuka) tiba, tetapi ia tidur sebelum ifthar, maka ia tidak boleh makan, minum dan berjima’ pada malam harinya dan juga pada siang harinya (keesokannya) sehingga memasuki sore hari. Dan sesungguhnya Qais bin Shirmah al-Anshari pernah berpuasa, lalu datang ke rumah pada waktu ifthar, kemudian dia mendatangi isterinya dan berkata kepadanya, “Apakah ada makanan?” Isterinya menjawab, “Tidak ada, tetapi aku akan pergi untuk mencarikan makanan untukmu.” Pada hari itu dia telah lelah bekerja sehingga dia tertidur. Selanjutnya, isterinya datang, dan ketika melihat suaminya itu tertidur, maka dia berkata, “Engkau benar-benar rugi.” Pada pertengahan siang hari (keesokannya), ia pun lemas (lalu pingsan). Kemudian hal tersebut diberitahukan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka turunlah ayat ini, أُحِّلَ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَاءِكُمْ“Dihalalkan bagi kalian pada malam hari (bulan) puasa bercampur dengan isteri-isteri kalian…” [2]
Maka mereka pun bergembira dengan turunnya ayat tersebut, dan turun pula ayat:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Makan dan minumlah hingga terang bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam…” [Al-Baqarah/2: 187]
Yang dimaksudkan dengan benang hitam adalah gelapnya malam. Sedangkan yang dimaksud benang putih adalah terangnya siang hari.
Di dalam kitab al-Mughni, penulisnya berkata: “…Puasa yang disyari’atkan adalah penahanan diri dari hal-hal yang membatalkannya mulai dari terbitnya fajar kedua (shadiq) sampai tenggelamnya matahari. Komentar beliau tentang ayat,
حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ‘Hingga terang bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar,’ yakni putihnya siang hari dari hitamnya malam hari. Dan ini terjadi dengan terbitnya fajar…” Hingga akhirnya dia mengatakan: “Dan benang putih adalah waktu pagi. Sahur itu tidak dilakukan, kecuali sebelum fajar… dan siang hari yang diwajibkan untuk berpuasa adalah sejak terbit fajar kedua (shadiq) sampai tenggelamnya matahari…”[3]
Allah جل وعَلا telah menggantungkan hukum itu dengan suatu hal yang sangat mudah dijangkau oleh setiap orang tanpa memerlukan perhitungan dan juga analogi falak. Jika malam telah berlalu sehingga yang tersisa darinya adalah apa yang menyerupai benang hitam, dan apabila datang waktu siang serta tampak darinya sesuatu yang menyerupai benang putih, maka wajib untuk menahan diri dan diharamkan untuk makan, minum, berhubungan badan, serta semua hal yang membatalkan puasa sampai matahari terbenam. Itu adalah tanda yang sangat jelas dan gamblang yang tidak membutuhkan pembelajaran dan pengetahuan tersendiri. Demikianlah masalah tasyri’ (ajaran agama) secara keseluruhan yang didasarkan pada kemudahan dan toleransi.
Mahabenar Allah Yang Mahaagung yang telah berfirman:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“…Dan sekali-kali Dia tidak menjadikan untuk kalian dalam agama suatu kesempitan…” [Al-Hajj/22: 78]
Dalam menafsirkan ayat yang mulia ini, Imam Ibnu Jarir mengatakan, “Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan batasan puasa, bahwa batas waktunya adalah masuknya waktu malam, sebagaimana batasan waktu untuk berbuka dan membolehkan makan, minum, dan berhubungan badan. Puasa itu diawali dengan datangnya waktu pagi dan awal kepergian akhir malam. Hal tersebut telah menunjukkan bahwasanya tidak ada puasa pada malam hari, sebagaimana tidak ada berbuka pada siang hari selama hari-hari puasa berlangsung.” [4]
[Disalin dari buku “Meraih Puasa Sempurna”, Diterjemahkan dari kitab “Ash-Shiyaam, Ahkaam wa Aa-daab”, karya Dr. ‘Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir].
______
Footnote
[1] Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/32) dan Shahiih Muslim (III/132))
[2] Diriwayatkan oleh al-Bukhari. (Lihat kitab Shahiih al-Bukhari (III/25) dari jilid I)
[3] Al-Mughni (IV/325), dengan sedikit perubahan.
[4] Jaami’ul Bayaan ‘an Ta’-wiilil Qur-aan (III/532).
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/16023-waktu-puasa-2.html